GpGlBSW0TfG8TpY7TpOiTUz5Gd==

4 Jejak Sejarah Perkeretaapian di Grobogan Tempo Doeloe Selain Stasiun Tanggung

Khazanahgrobogan – Dalam sejarah perkeretaapian di Indonesia, Stasiun Tanggung yang berada di Desa Tanggungharjo, Kecamatan Tanggungharjo, Kabupaten Grobogan, merupakan generasi pertama yang dibangun pada tahun 1867.

Olivier Johannes Raap dalam buku Sepoer Oeap di Djawa Tempo Doeloe (2017) menyatakan, seksi pertama Lintas Semarang – Yogyakarta/Ambarawa, yaitu jalur Semarang – Tanggung dibuka pada 1867 sebagai titik awal perkembangan perkeretaapian di Indonesia yang saat itu masih bernama Hindia Belanda.

Namun, tidak hanya Stasiun Tanggung, ada 4 jejak lain yang berada di wilayah Kabupaten Grobogan terkait sejarah awal perkeretapian di Indonesia. Dua jejak itu di antaranya berupa stasiun yang merupakan generasi kedua, yaitu Stasiun Gundih (1900) dan Stasiun Kedungjati (1907). Selebihnya, dua jejak lain berupa jembatan kereta api, yaitu Jembatan Kali Tuntang dan Jembatan Kali Serang.

Berikut ini deskripsi keempat jejak itu berikut foto kartu pos yang dikutip dari buku karya Olivier Johannes Raap:  

1. Stasiun Kedungjati

Stasiun Kedungjati. (Foto: Istimewa)
Stasiun Kedungjati merupakan titik pertemuan jalur kereta api ke tiga arah: ke Semarang (sejak 1867), ke Gundih (sejak 1868), dan ke Ambarawa (sejak 1873). Bangunan stasiun dalam foto ini didirikan pada tahun 1907 untuk mengganti bangunan lama. Di dalam bangunan berbahan batu bata yang berada di bawah kanopi berkonstruksi baja terdapat ruang tunggu, kantor, dan fasilitas lain.

Foto mengarah ke barat. Pintu ruang tunggu kelas 1 dan 2 terbuka dan kita bisa melihat interior yang cukup mewah. Pada dinding bangunan kedua tampak iklan bergambar kucing; itulah papan iklan untuk air mineral bermerek Hygeia yang pabriknya telah beroperasi di Semarang sejak 1901.

Pada 1915 dibangun kanopi tambahan di atas dua sepur sebelah kiri foto ini, untuk melayani kereta api ke arah Ambarawa. Bangunan milik PT KAI ini masih terawat dan masih berfungsi hingga sekarang, meskipun tidak banyak kereta api yang berhenti di sini.  Jalur Kedungjati – Ambarawa yang dinonaktifkan pada 1976 sekarang sedang direvitalisasi untuk perdagangan dan wisata.

2. Jembatan Kali Tuntang

Jembatan Kali Tuntang (Foto: istimewa)
Di jaringan NIS terdapat dua jembatan di atas Kali Tuntang. Sebuah jembatan kecil berada di jalur rel Kedungjati – Ambarawa, tetapi jembatan sepanjang sekitar 60 meter dalam foto ini terletak pada sisi barat Stasiun Kedungjati, di muka jalur Kedungjati – Gundih. Jembatan dari tahun 1870 dengan jalur pejalan kaki pada kedua sisinya ini sampai sekarang tetap berfungsi, tetapi pagar tembok pada kedua pangkalan sudah diganti dengan logam.

Foto ini memperlihatkan jembatan dari sisi utara. Kereta api menuju ke timur dan membelakangi emplasemen Kedungjati di tepi barat. Sebenarnya, jembatan ini masih termasuk emplasemen Stasiun Kedungjati.

Semua kereta api dari Semarang ke Ambarawa atau sebaliknya harus berbalik posisi lokomotif di Stasiun Kedungjati. Karena ujung wesel di emplasemen Kedungjati terletak di pangkalan jembatan, pada waktu melepas lokomotif dan langsir, lokomotifnya harus maju sampai di atas jembatan.

3.  Jembatan Kali Serang


Jembatan Kali Serang. (Foto: istimewa)
Di jalur Kedungjati – Gundih yang dibuka pada 1870, jalur kereta api menyeberangi jembatan sepanjang sekitar 100 meter yang membentang di atas Kali Serang, tepatnya di perbatasan Kabupaten Boyolali (tepi barat) dengan Kabupaten Grobogan (tepi timur). Letak jembatan ini agak jauh di tengah sepinya hutan. Penumpang kereta api dapat menikmati pemandangan indah dengan pohon jati dan tembakau di kiri kanan rel.

Kali Serang, sungai dengan panjang 133 kilometer, berhulu di lereng Gunung Merbabu dan bermuara di Laut Jawa di Kabupaten Jepara. Sudut pengambilan foto mengikuti aliran sungai ke arah utara. Pernah dibangun empat jembatan kereta api di atas Kali Serang di berbagai lintas NIS dan SIS. Inilah jembatan yang paling dekat dengan hulu dan paling lama.

4. Stasiun Gundih

Stasiun Gundih. (Foto: istimewa)
Stasiun Gundih dibuka pada 1870.  Sejak tahun 1900, Gundih sudah berperan sebagai simpul (hub) yang melayani tiga jalur ke empat arah. Saat itu dibangun stasiun baru bergaya arsitektur eklektik yang berfungsi hingga sekarang. Kedua kanopi besar di atas peron kiri dan kanan memakai konstruksi baja buatan Belgia dan jam peron dibuat oleh pabrik jam Ungerer Frères dari Kota Strassburg (saat itu Jerman, sekarang Prancis).

Foto ke arah utara ini memperlihatkan layout sebagai stasiun pulau. Jalur rel pada sisi kiri melayani kereta api Semarang – Yogyakarta, sementara jalur rel di sisi kanan menuju ke Surabaya Pasar Turi. Lintas Gundih – Surabaya Pasar Turi pada 1900 mulai dioperasikan oleh NIS dengan jalur selebar 1.067 milimeter, berbeda dengan 1.435 milimeter di Lintas Semarang – Yogyakarta.

Selain itu, Gundih pernah menjadi terminal trem PGSM (Poewodadi – Goendih Stoomtram Maatschappij) yang didirikan pada 1883 dan hanya mempunyai jaringan terpendek di Hindia Belanda itu menjadi bagian dari jaringan SJS (Semarang Joanna Stroomtammaatschappij).

Stasiun Gundih dilestarikan dengan baik dan tetap digunakan hingga sekarang. Namun, peron kanan sekarang jarang digunakan karena relnya hanya dilalui dengan jalur melingkar jika jalur lain mengalami gangguan.

Demikian 4 jejak sejarah perkeretaapian di Grobogan tempo doeloe yang sampai sekarang masih dapat dilihat dan berfungsi. (BMA – Redaksi Khazanah Grobogan)

 



Jasaview.id

Type above and press Enter to search.