Letupan lumpur Bledug Kuwu bisa dijelaskan secara ilmiah lewat kaca mata sains. (Khazanahgrobogan/istimewa) |
Khazanahgrobogan - Bledug Kuwu yang berada di Desa Kuwu, Kecamatan Kradenan, Kabupaten Grobogan, boleh dikata merupakan sebuah objek wisata yang berbasis legenda dan sains. Dari sudut pandang legenda yang diceritakan secara turun-temurun disebutkan bahwa Bledug Kuwu terjadi karena adanya lubang yang menghubungkan tempat itu dengan Laut Selatan (Samudera Hindia).
Konon, lubang itu adalah jalan pulang Jaka Linglung—putra Prabu Aji Saka yang berwujud ular raksasa—dari Laut Selatan menuju Kerajaan Medang Kamulan, setelah berhasil mengalahkan Prabu Dewata Cengkar yang telah berubah wujud menjadi buaya putih (bajul puteh) di Laut Selatan. Jaka Linglung yang berwujud ular raksasa itu melakukan perjalanan bawah tanah. Sehingga diyakini ada “hubungan bawah tanah” antara Laut Selatan dengan Bledug Kuwu.
Sementara dari kacamata sains, kawah lumpur di sini—sebagaimana kawah lumpur lainnya—adalah aktivitas pelepasan gas dari dalam teras bumi. Gas ini biasanya adalah metana. Bledug Kuwu adalah satu-satunya letupan kawah lumpur yang berlokasi di Jawa Tengah. Letupan-letupan lumpur yang terjadi biasanya membawa pula larutan kaya mineral dari bagian bawah lumpur ke atas. Banjir lumpur panas Sidoarjo juga diakibatkan oleh kawah lumpur, meskipun untuk yang ini tingkat aktivitasnya lebih tinggi.
Menurut Rovicky Dwi Putrohari, pakar geologi dan mantan Ketua Ikatan Ahli Geologi Indonesia (IAGI)—sebagaimana dikutip dalam sebuah artikel di situs mongabay.co.id, gunung lumpur Bledug Kuwu terbentuk karena ada rekahan dan tekanan dari dalam bumi yang membawa lumpur, mineral, dan gas ke atas.
Garam dari tempat ini berasal dari air laut yang terjebak di batuan. Zaman dulu, Grobogan, bahkan Pulau Jawa, masih berupa lautan. Kandungan mineral utama garam Bledug Kuwu antara lain kalium, kalsium, natrium, dan klor.
Sumber lain, sebagaimana dilansir dari undip.ac.id menyebutkan, sebelum abad ke-17, Pulau Jawa dengan kawasan lereng Gunung Muria terpisah oleh sebuah selat yang luas dan dalam. Setelah abad itu, selat yang bernama Selat Muria itu semakin dangkal sehingga tidak bisa dilalui kapal. Pada saat itulah Bledug Kuwu diinterpretasikan sebagai garis pantai dari Selat Muria.
Selain itu, dari pengamatan yang dilakukan seorang peneliti bernama Orsoy de Flines pada 1940 mengasumsikan ada air laut dari Selat Muria yang terperangkap, yang kemudian menyebar di kawasan Bledug Kuwu.
Meski masih minim pengembangan, objek wisata Bledug Kuwu tetap menyimpan daya tarik yang membuat banyak orang—terutama yang sama sekali belum pernah berkunjung, untuk datang melihatnya. (BMA – Khazanah Grobogan)