GpGlBSW0TfG8TpY7TpOiTUz5Gd==

Tujuh Kuliner Grobogan Masuk di Buku Riwayat Kuliner Indonesia

Penulis buku Riwayat Kuliner Indonesia, Badiatul Muchlisin Asti (kiri) saat berfoto dengan Ketua Komite Ekonomi Kreatif (KEK) Provinsi Jawa Tengah, Ahmad Khairudin, dalam sebuah acara. (Foto: istimewa)

Khazanahgrobogan - Penulis produktif Grobogan, Badiatul Muchlisin Asti, belum lama ini meluncurkan buku terbarunya berjudul Riwayat Kuliner Indonesia (Seri 1): Asal-usul, Tokoh, Inspirasi, dan Filosofi. Buku diterbitkan oleh penerbit CV. Hanum Publisher dengan tebal 400 halaman dan dicetak eksklusif—hardcover atau sampul keras.

Di dalam buku tersebut, Asti—sapaan akrab penulis yang sudah menulis dan menerbitkan lebih dari 60 judul buku itu, mengulas sejarah ragam kuliner ikonik Indonesia yang sudah populer di blantika kuliner Indonesia. Antara lain rendang, pempek, bir pletok, gudeg, lumpia, nasi lengko, sate kambing Tegal, soto Bangkong, lentog Tanjung, se’i, nasi krawu, sate klatak, dan banyak lagi.

Di dalam buku tersebut, Asti juga memasukkan tujuh kuliner khas Grobogan. Ketujuh kuliner itu adalah ayam pencok Kuwu, garang asem, sega pager, pecel Gambringan, becek, swike, dan mi tek-tek Nunjungan. 

Menurut Asti, pencantuman ketujuh kuliner khas Grobogan itu bukan semata karena dirinya adalah putra daerah Grobogan, namun karena ketujuh kuliner itu memang pantas diangkat dan disandingkan dengan kuliner ikonik Indonesia lainnya. Ketujuh kuliner khas Grobogan itu selain memiliki jejak sejarah panjang, juga memiliki jejak akulturasi dan nilai-nilai filosofi.

“Bagi saya, kuliner tidak sekedar persoalan cita rasa, tapi juga ada jejak sejarah panjang yang bisa kita telusuri. Swike, misalnya, merupakan kuliner khas Purwodadi yang sudah eksis sejak akhir abad ke-19 dan diperkenalkan oleh seorang etnis Tionghoa yang tinggal di kota Purwodadi,” jelas Asti.

Swike asli Purwodadi berbahan daging kodok karena kodok dihargai dalam tradisi kuliner Tionghoa. Hanya saja masyarakat Purwodadi yang sebagian besar beragama Islam sempat menghadapi dilema—karena secara fikih Islam, daging kodok hukumnya haram. Sehingga masyarakat menerima swike secara setengah hati, meski swike telah masyhur di lingkup internal masyarakat Grobogan maupun luar Grobogan.

Alhamdulillah meski rancu dari sisi nomenklatur, dalam perkembangannya, terutama untuk mengatasi dilema, masyarakat Grobogan telah berekperimentasi mengganti kodok yang nonhalal dengan ayam yang halal. Sehingga di Purwodadi sekarang lazim dijumpai kuliner swike ayam,” jelas Asti yang juga Ketua Bidang Pengembangan Potensi Daerah dan Jejaring Ekonomi Kreatif Komite Ekonomi Kreatif (KEK) Kabupaten Grobogan..    

Kuliner khas Grobogan lainnya adalah becek—yang secara historis dahulu hanya bisa dijumpai  di acara-acara pesta warga, seperti saat menggelar pesta pernikahan (mantu) atau khitanan (sunat). Becek yang umumnya berbahan iga sapi dapat dilacak dari tradisi masyarakat Grobogan era dulu yang hanya makan daging di acara-acara khusus.

Namun pada perkembangannya, menurut Asti, becek kemudian hadir di sejumlah warung makan, sehingga becek bisa dijumpai setiap hari—tidak harus menunggu ada acara pesta baru bisa menyantap becek.

“Bahkan sekarang becek sudah mengalami diversifikasi. Di masyarakat, becek tidak hanya terbuat dari iga sapi, tapi juga dari kerbau, ayam, kambing, bahkan ikan nila,”  tutur penulis yang telah menekuni dunia kepenulisan sejak tahun 1994. (Redaksi Khazanah Grobogan)

 



Jasaview.id

Type above and press Enter to search.