Membeli tapak belo ditemani mas Rozak. (Khazanahgrobogan/BMA) |
Khazanahgrobogan - Setiap hari pasaran Jumat Wage, makam Mbah Kiai Santri Jaka Sura yang berada di Dusun Tlogotanjung, Desa Tlogorejo, Kecamatan Tegowanu, Grobogan, Jawa Tengah, sangat ramai oleh para peziarah yang datang dari berbagai daerah dan pedagang.
Menurut tokoh agama sekaligus sesepuh Desa Tlogorejo, Kiai Afifudin, Mbah Kiai Santri Jaka Sura merupakan murid Kanjeng Sunan Kalijaga. Ia meninggal karena dibunuh oleh Mpu Sura Niti—yang tak lain adalah kakak iparnya sendiri.
Tempat Jaka Sura dibunuh terdapat sebuah telaga dan pohon tanjung, sehingga tempat di mana Jaka Sura dimakamkan disebut dengan pedukuhan Tlogotanjung. “Sejak 1990-an, makam Jaka Sura yang kemudian terkenal dengan nama Mbah Kiai Santri, mulai didatangi para peziarah,” tutur Kiai Afifudin.
“Seiring banyaknya peziarah, para pedagang juga mulai bermunculan. Semakin banyak peziarah, semakin banyak pedagang,” tutur Kiai Afifudin lebih lanjut.
Adapun hari berziarah hanya setiap Jumat Wage, menurut Kiai Afifudin, karena hari itu adalah hari kelahiran Mbah Kiai Santri. “Sehingga dianggap sebagai momentum tepat untuk berziarah ke makam Mbah Kiai Santri,” terang Kiai Afifudin.
Tapak belo biasa disantap dengan parutan kelapa. (Khzanahgrobogan/BMA) |
Khazanah Grobogan datang dibersamai oleh tokoh muda Desa Tlogorejo, Choerozak Ibnu Marjan. Kepada Khazanah Grobogan, Choerozak—atau biasa kami sapa mas Rozak, menyatakan bahwa di kompleks makam ini ada tiga kuliner yang dikembangkan warga sebagai semacam ikon, yaitu dawet, tapak belo, dan brondong.
“Para peziarah yang datang berziarah ke makam Mbah Kiai Santri karena nazar, umumnya memborong dawet, lalu dibagikan ke warga yang berada di kompleks makam,” tutur mas Rozak.
Kami pun ditraktir mencicipi es dawet dan tapak belo yang dijual oleh pelapak di kompleks makam tersebut. Es dawet sudah sangat populer sebagai minuman tradisional khas Jawa—yang di Jawa Barat dikenal dengan nama es cendol.
Adapun tapak belo—atau ada yang menyebutnya
lopis ketan—adalah jajanan pasar yang terbuat dari beras ketan dibungkus daun pisang menyerupai lontong. Tapak belo disusun berlapis-lapis yang tiap lapisnya dipisahkan oleh daun pisang. Sehingga tak perlu memotongnya pakai pisau saat hendak menyantapnya.
Dinamakan tapak belo karena bentuknya mirip dengan telapak kaki anak kuda. Belo memang sebutan bagi anak kuda dalam bahasa Jawa. Tapak belo biasa dinikmati dengan parutan kelapa. Adapula yang menyantapnya dengan areh yang terbuat dari santal kental dan kinca dari gula Jawa. (BMA – Redaksi Khazanah Grobogan)