GpGlBSW0TfG8TpY7TpOiTUz5Gd==

Jejak Leluhur Bung Karno di Desa Kalirejo Wirosari Grobogan

 

Balai Desa Kalirejo, Kecamatan Wirosari, Grobogan. (Khazanah Grobogan/BMA)
Khazanahgrobogan.com - Semua bermula ketika Raden Mangoendiwirjo menjadi Wedana Pamajekan di Wirosari Kabupaten Grobogan. Siapa Raden Mangoendiwirjo? Raden Mangoendiwirjo atau Pangeran Mangkoediningrat adalah putra dari Sultan Hamengkubuwana II. (Nurinwa Ki S. Hendrowinoto dalam buku Ayah-Bunda Bung Karno, 2002).

Di Wirosari, Raden Mangoendiwirjo kawin dengan putri setempat. Mereka menurunkan 8 putra dan seorang putri, di antaranya adalah Raden Danoewikromo (diperkirakan lahir tahun 1804). Jadi, saat perang Diponegoro meletus, Danoewikromo sudah merupakan pemuda yang berumur 20 tahun. Ia pun dikabarkan turut berperang memimpin pemuda sebayanya di Desa Kalirejo, Wirosari.

Ketika perang usai, ia kembali ke daerahnya dan menyunting seorang putri di Wirosari. Hasil perkawinan itu menghasilkan empat putra dan seorang putri, yakni: Raden Kromoatmojo, Raden Soemodiwirjo, Raden Mangoendiwirjo, Raden Nganten Kartodiwirjo dan si bungsu, Raden Hardjodikromo yang tidak lain dan tidak bukan adalah kakek Bung Karno.

Setelah menginjak dewasa, Raden Hardjodikromo (lahir kurang lebih tahun 1840) menjadi carik (juru tulis) di Desa Kalirejo, Kecamatan Wirosari. Sementara kakaknya Raden Mangoendiwirjo menjadi lurahnya. Mereka berdua menggantikan para pamong desa sebelumnya yang telah lanjut usia. Tentu saja, jabatan pamong desa itu bukan hal yang sulit diperoleh, karena kakek mereka adalah tokoh di Kawedanan Wirosari dan ayah mereka prajurit pengikut setia Pangeran Diponegoro yang dihormati.

Dalam perjalanannya, di masa tanam paksa pemerintah kolonial di tanah Jawa akibat kekalahan Diponegoro, Raden Hardjodikromo berniat melepas jabatannya sebagai carik Kalirejo. Kira-kira setahun setelah kelahiran putra ketiganya, yakni Raden Soekeni Sosrodiharjo yang tak lain adalah ayah Bung Karno (sekitar tahun 1873), Raden Hardjodikromo memantapkan hati melepas jabatannya sebagai carik dan berniat pindah ke kota lain.

Pindah ke Tulungagung

Tulungagung akhirnya menjadi tujuan kepindahannya. Di kota itu tinggal kakaknya yang diperistri seorang mantri guru. Di Tulungagung, kehidupan Raden Hardjodikromo membaik. Ia menjadi pedagang batik, selanjutnya membuka industri kerajinan batik di rumahnya.

Kondisi ekonomi yang cukup baik, membuka jalan bagi Raden Soekeni Sosrodiharjo untuk menggapai cita-cita sebagai seorang guru. Saat itu guru merupakan profesi yang dihormati, baik oleh masyarakat maupun pemerintah kolonial.

Oleh karena itu, selepas masa sekolah rendah tahun 1885, Raden Soekeni memasuki Kweekschool (sekolah guru) di Probolinggo. Pada tahun 1889, Raden Soekeni lulus dari Kweekschool dengan memuaskan. Kemudian ia diangkat menjadi guru di kota Kraksaan, Kabupaten Lumajang, Karesidenan Besuki, Jawa Timur.

Tahun 1891, Raden Soekeni menerima tawaran untuk mengajar pada sekolah rakyat di Singaraja, Bali. Di Pulau Dewata itulah, Raden Soekeni menyemai cinta dan menemukan pendamping hidup seorang gadis Bali bernama Idayu atau Ni Nyoman Rai Sarimben, yang kelak kita mengenalnya sebagai ibunda tercinta dari Proklamator Republik Indonesia, Bung Karno. (BMA - Redaksi Khazanah Grobogan)

 



Jasaview.id

Type above and press Enter to search.